Cerpen 12

UTBK-ku
Oleh:ALU
     Saat mendaftar UTBK, aku mendapatkan jadwal di hari pertama. Saat hari itu tiba, aku sengaja bangun lebih pagi daripada biasanya. Setelah sarapan dan belajar, sekitar jam sepuluh aku menyetrika baju yang akan kukenakan nanti, lalu melanjutkan belajar lagi, karena menurutku materi yang kupelajari masih kurang. Satu jam kemudian, sepupuku yang akan mengantarku ke lokasi UTBK datang, karena aku tidak bisa mengendarai sepeda motor maupun mobil. Biasanya aku diantar bapakku, sayangnya hari ini beliau masih di luar kota. Setelah berbincang-bincang dengan sepupuku cukup lama, azan zuhur berkumandang, waktunya untuk salat. Lalu aku membersihkan diri dan berganti pakaian. 
     Saat meletakkan handuk di jemuran samping rumah, aku melihat ada beberapa orang di depan pintu rumahku, aku lalu menyambar kembali handuk itu dan mengenakannya untuk menutupi rambutku. Aku membuka pintu, ternyata orang-orang itu adalah saudaraku yang berasal dari kota  jauh, setelah mempersilakan masuk dan basa-basi sebentar, aku meminta izin untuk berangkat ke lokasi UTBK kepada ibu, nenek dan saudara-saudaraku.
     Saat di perjalanan, aku merasa tidak enak badan, sepertinya karena belum makan siang, sebagai informasi saja, biasanya dalam sehari aku makan sampai lima kali, tapi hari ini aku masih makan sekali! Bercampur gugup karena akan ujian, aku malah menunjukkan rute salah pada sepupuku yang malah berujung pada gang buntu, padahal kemarin aku sudah cek lokasi dan telah diwanti-wanti untuk mengingat jalan. Aku mengingat dengan keras, dengan bantuan sepupuku yang lumayan mengingat jalan, akhirnya sepeda melaju di rute yang benar.
     Setelah sampai di lokasi, aku masuk ke dalam barisan yang dibatasi jaraknya antar peserta, petugas lalu menyemprotkan hand sanitizer ke setiap telapak tangan peserta yang berbaris, agar steril saat masuk ke dalam gedung, setelah mendapatkan ganti masker kesehatan dan sarung tangan, kami menandatangani daftar hadir. Setelah masuk gedung, kami tidak langsung diperbolehkan masuk ke ruang tes, akhirnya kami duduk di kursi yang ditata renggang di luar ruangan. Sambil menunggu, para peserta sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Saat aku mencoba melonggarkan sarung tangan karetku dan malah terjepret, suaranya seperti memecah atmosfer kesunyian dalam ruangan itu, wajahku memerah, untung saja tertutup masker.
     Satu jam seperempat kemudian, kami dipanggil satu per satu ke dalam ruangan. Ruangan ber-AC itu membuat kulit ekonomi ke bawahku langsung bereaksi, untung saja tadi aku membalurkan minyak kayu putih. Setelah semua peserta masuk ke ruangan, kami harus menunggu sekitar setengah jam untuk mendapatkan token, telapak tanganku yang mudah keringatan meronta-ronta, aku lalu melonggarkan sarung tangan agar udara bisa masuk, keringat di telapak tanganku langsung meluncur ke ujung-ujung jari. Begitu pula hidungku yang tidak mancung, sehingga tidak ada penyangga agar lubang hidungku bernapas leluasa, aku bolak-balik membenarkan letak maskerku, mencari posisi terbaik, tapi tetap saja. Ditambah lagi, asam lambungku mulai naik, untung saja aku membawa tas sekolahku yang berisi obat maag yang kugunakan saat ujian lima bulan lalu.
     Waktu ujian pun tiba. Aku mulai membaca soal, ternyata soalnya tidak lebih sulit daripada yang aku pelajari biasanya, tapi dengan kejadian-kejadian yang telah kualami membuat moodku buruk. Aku mulai tidak fokus mengerjakan ujian, kepalaku berat dan rasanya sekosong perutku, tidak hanya sekali aku kentut di dalam perutku sendiri. Saat mengerjakan soal kuantitatif yang aku sukai pun juga tidak fokus, aku baru mengerjakan empat soal tapi waktuku tinggal sepuluh menit lagi!
     Setelah waktu mengerjakan selesai, kami keluar satu per satu. Aku setengah berlari menuju gerbang depan untuk mencegat angkot AL, sampai kakiku lecet, karena ini sepatu lungsuran, dimana pemilik sebelumnya kuduga sering menginjak belakang sepatunya hingga plastik kerangkanya mencuat ke depan menerobos busa. Sekitar tujuh menit aku menunggu di pinggir jalan, angkot AL tidak kunjung tampak. Aku lalu membuka whatsapp dan menulis pesan untuk kakakku.
"Mbak, aku wes pulang." Ketikku.
"Wes sholat a? Sholat o disek, engkok tak pesenno ojol" Jawab kakakku yang kebetulan online.
     Setelah mengiyakan, aku lalu kembali ke lokasi UTBK.
"Permisi Pak, masjidnya ada di sebelah mana ya?" Tanyaku pada bapak sekuriti.
"Oo itu Mbak,di tengah-tengah kampus, di sebelah baratnya gedung H5."
"Yang atapnya oranye itu Pak?" Tanyaku kaget.
"Iya Mbak." Whattt, itu kan gedung tempatku tes tadi, tahu begitu, aku langsung ke barat saja.
"Ooiya Pak makasih."
     Aku lalu berjalan ke arah yang ditunjukkan bapak tadi, tapi tidak ada tanda-tanda adanya masjid. Dari kejauhan aku bisa melihat ada peserta lain yang berjalan berlawanan arah denganku.
"Mbak, permisi, masjidnya ada dimana ya?" Tanyaku sok akrab.
"Oo itu Mbak, lurus aja, terus belok kanan, terus bangunan yang warnanya hijau itu." Jawab mbak itu ramah.
"Oo iya makasih."
     Sampai di masjid aku melepas sepatu yang menyiksaku, saat melepas kaos kaki, aku melihat ada noda darah di letak kakiku yang terasa lecet tadi.
"Meow..." Kucing yang berwarna hitam dengan sedikit corak putih mendekatiku, dari posturnya, sepertinya kucing ini kelaparan.
"Hush, hush." Kataku sambil geleng-geleng. 'Aku nggak enek jajan, chenk.' batinku.
"Meaw?" Kucing itu seperti memastikan. Aku angguk-angguk. 'Ada sih kerupuk tahu, tapi kalau kamu makan, terus keloloten yokpo? Aku moh dadi tersangka kasus pembunuhan!' kataku dalam hati, berharap si kucing tahu.
"Mee..." Kucing itu pun pergi. 'Nah sip, chenk, aku kate sholat disek.'.
     Setelah salat, aku kembali ke gerbang yang ada di ujung kampus untuk menunggu pak ojol. Di gerbang, aku menunggu pak ojol sambil memotret matahari yang mulai terbenam.
"Dengan Kak Nia?" Tanya laki-laki yang menaiki motor ninja. Benar-benar deh, orang ini sepertinya salah orang, jelas-jelas namaku bukan itu, eh tunggu-tunggu...
"Hah? Apa?" Aku baru ingat, codename ojol milik kakakku adalah nama itu. Aku dan kakakku memang sering menggunakan codename yang tidak sesuai dengan nama kami, ini sepertinya codename amendemen kelima, pantas saja aku lupa.
"Dengan Kak Nia?" Ulangnya.
"Oiya." Aku buru-buru memasukkan handphone pada kantong rokku tanpa mematikan datanya, tapi masih di luar kantong aku sudah melepas hape itu seperti licin. Alhasil handphone yang baru lunas itu menggelinding konyol di aspal.
"Amamamama." Aku ingin menampar mulutku yang melontarkan kata-kata latah. Lalu handphone yang menunjukkan chat ku di whatsapp itu, dipungut oleh pak ojol dan dikembalikan padaku. Aku lalu mengucapkan terimakasih. Pak ojol itu lalu kembali ke posisi nya, posisi siap menyetir.
"Maaf tapi saya belum pake helm." Kataku.
"Oiya lupa." Pak ojol lalu menuju box motor yang ada di belakang dan menyerahkan helm berlogo itu padaku. Astagaa...aku baru sadar, ini mah bukan 'pak ojol' tapi 'mas ojol'.
     Aku lalu duduk miring dan berpegangan pada besi yang menyambungkan box dengan motor. Motor berjalan dengan sangat kencang sehingga membuat 'mas ojol' sering mengerem dadakan, sedangkan aku sadar diri dengan berat badanku yang tidak ringan ini, berusaha sekuat tenaga mengerem agar tubuhku tidak mendorong 'mas ojol' , dan itu terjadi berulang kali. Oke 'mas ojol', anda berhasil membuat saya bersholawat lebih banyak ketimbang saat mengerjakan UTBK.

Malang, 5 Juli 2020

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "Kosmos"